Sekelumit Menyelami Perjalanan Figur Pemimpin Organisasi : “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
Oleh : ROBERT RERO *)
Di setiap potongan diskusi menyangkut organisasi baik pemerintahan maupun swasta selalu terselip aroma kepemimpinan dan pelayanan. Bukan hal baru untuk diperbincangkan apa itu kepemimpinan (Leadership) bahwa kepemimpinan adalah salah satu fungsi manajemen untuk mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi dan mengawasi orang lain, agar dapat melakukan tugas-tugas yang telah direncanakan, sehingga mencapai tujuan dan sasaran organisasi.
Banyak pakar manajemen memberikan ulasan pemikirannya apa itu kepemimpinan dan bagaimana peran yang harus dimainkan. Gareth Jones dan Jennifer george mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses, dimana seorang individu mempunyai pengaruh terhadap orang lain dan mengilhami, memberi semangat, memotivasi dan mengarahkan kegiatan-kegiatan mereka guna membantu tercapainya tujuan kelompok atau organisasi.
Pemimpin (Leadership) dan kepala (Leading) kadang masih segelintir orang menganggap hal ini sebagai peran yang tidak memiliki arti yang berbeda atau kata lain pemimpin sama dengan kepala, pemikiran seperti itu boleh-boleh saja. Hanya sangat disayangkan, karena akan berdampak pada karakter dalam pelayanan. Soal kepala siapa saja di kolom langit ini bisa saja menjadi kepala dengan peran dan standar yang telah digariskan dalam ketentuan organisasi, bahkan sudah ada pada pribadi orang tersebut tetapi tidak banyak figur kepala memiliki karakter kepemimpinan.
Penulis mencoba untuk membedah dan mengingatkan kepada siapapun, terutama mereka-mereka yang saat ini sedang menjalankan peran itu atau kader yang sedang dipersiapkan untuk menjadi Kepala dan Pemimpin. Ketika dalam percakapan dengan topik apapun apabila terungkap kata kepala orang selalu memberi pengertian adalah bagian dari suatu benda tertentu yang sangat berperan penting.
Ketika memperbincangkan kepala dan pemimpin dalam sebuah organisasi ,harus memiliki makna dan pengertian yang membedakan apa itu kepala dan apa itu pemimpin ? Ketika sebuah organisasi menganalogikan seekor ular (snake analogic), maka ada bagian kepala, bagian badan dan bagian ekor dan ketiga bagian ini tidak menjadi bagian yang terpisah dan tidak ada bagian yang satu lebih penting dari bagian yang lain. Walaupun ketika melihat perannya, pasti berbeda satu dengan yang lain, namun ketiga bagian tadi memberi kontribusi terhadap seekor ular itu untuk bisa beraktivitas, bertumbuh dan selalu berusaha untuk menghindarkan dirinya dari apapun ancamannya.
Hal tersebut penulis ingin sekali lagi menegaskan bahwa dalam sebuah organisasi yang membedakan adalah “ perannya” tetapi semuanya memberi kontribusi untuk kinerja sebuah organisasi baik Top management, midle management maupun low management. Kepala mengandung makna yang cukup dalam dan ketika ingin mengulasnya bahwa pada bagian kepala manusia ada belahan Otak kiri (IQ/intelligence quotient) dan belahan otak kanan (EQ/emotional Quotient).
Otak kiri yang berperan membangun berpikir logis, (hal-hal yang logis) mathematic (bersifat matematika, Anda menolong saya dan saya menolong Anda dan kalau Anda tidak sayapun tidak) secara IQ/intelligence quotient, berpikir linear (kacamata kuda), thinking in words, sequencing, maka tidaklah salah apa yang dikatakan Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul Emotional Quotient.
Kalau seseorang mengandalkan cara berpikir dengan kekuatan IQ/intelligence quotient sedang berjalan pada jalan yang salah sehingga seorang kepala, pemimpin, atau apapun sebutan jabatannya jangan didominasi dengan berpikir matematis IQ/intelligence quotient dan andaikan seperti itu, maka Anda adalah sekelompok orang pintar tetapi bukan tergolong kelompok orang cerdas yang didambakan banyak orang disekitar Anda.
Otak kanan (EQ) berperan feelings visualization, imagination, intuition, rhythm, holistic thingking and arts Kedua belahan otak ini harus memberi kontribusasi terhadap sebagian peran kepalanya pada seseorang. Masih pada bagian kepala ada Mata, maka mata harus berperan untuk memberikan arah dan melihat mana yang benar dan mana yang salah. Karena banyak kepala bisa memandang tapi tidak melihat.
Telinga berada pada dua sisi, yaitu satu di sisi kanan dan satu di sisi kiri yang artinya ketika mendengar harus ada keseimbangan (ballanced) agar tidak terjadi salah penangkapan informasi yang akan berdampak pada mengambil keputusan yang salah. Karena banyak kepala menguping tapi tidak mendengar.
Hidung harus dapat berfungsi tidak sekedar untuk jalannya pernafasan atau sekedar melengkapi bagian wajah tetapi harus mampu membedakan rasa aroma, dalam organisasi dan sekitarnya, karena banyak kepala mengendus namun tidak mencium.
Mulut melakukan perannya apakah dalam bentuk makan bagi dirinya atau mengeluarkan sebuah statetment tetapi statetmen bagi figur seorang pemimpin harus bermuara kepda kepentingan banyak orang dan organisasi atau keputusan yang tidak berpihak kepada kepentingan orang tertentu atau kelompok tertentu. Bahkan mulut memiliki lidah kadang mengecap namun tidak membedakan rasa. Berbicara peran kepala, seorang kepala belum tentuk dapat menjalankan peran kepalanya secara baik, sehingga runtuhnya sebuah kerajaan kekuasaan seseorang karena tidak mengoptimalkan peran-peran unsur yang ada di bagian kepalanya. Seandainya seseorang bisa menjalankan peran-peran pada bagian kepalanya secara maksimal itupun baru hanya bisa disapa seseorang “KEPALA”yang baik kepala tersebut dikategorikan seorang yang pintar bukan seorang yang cerdas.
Seorang Pemimpin tidak hanya membutuhkan kepintarannya. Di sekitar kita bahkan di jagat ini bertaburan kumpulan manusia yang pintar. Tetapi yang menjadi pertanyaan seberapa banyakkah kumpulan figur orang pintar dan naik kepada level yang lebih tinggi menjadi kelompok orang yang kita sebut “Orang cerdas” dan itulah yang kita sebut figur seorang pemimpin. Bagaimana seorang bisa disebut sebagai seorang pemimpin.
Banyak teori yang mengulas apa itu pemimpin dan penulis punya kecenderungan untuk mengatakan bahwa banyak figur kepala yang sudah membaca bagaimana konsep untuk menjadi seorang Pemimpin yang baik, tetapi mengapa mereka tidak mampu untuk mendaratkan semuanya itu dalam bersikap maupun dalam berperilaku?
Maka tidak salah apa yang dikatakan Bruce Lee, bela diri kungfu/ jeet kune Do, yang fenomenal kelahiran San Fransisco 27 November 1940 dan meninggal pada 20 Juli 1973 usia 32 tahun bahwa “ Knowing is nothing doing what you know is everything” (Mengetahui tetapi tidak melakukan apa yang diketahui maka semuanya menjadi sia-sia).
Anda belajar baik dibangku kuliah, Kursus, pelatihan serta metode pembelajaran apapun, membaca buku sekian banyak. Bahkan ruang tamu berjejer lemari perpustakaan yang penuh dengan buku, itu adalah luar biasa patut diberikan apresiasi. Namun, yang menjadi pertanyaan seberapa jauh menerapkan apa yang telah Anda mengetahui secara teoritis tersebut ?
Untuk menjadi seorang “figur pemimpin yang berkarakter melayani” hal yang penting adalah harus memahami untuk menjadikan dirinya dahulu seorang pemimpin sebelum memimpin orang lain. Sebuah penelitian yang dilakukan McCall dan Lombrado 1983 yang boleh dikatakan sudah cukup lama mengatakan bahwa terdapat empat sifat kepribadian utama untuk menjadi seorang pemimpin :
Pertama, Stabilitas dan ketenangan emosi : seorang pemimpin harus mempunyai karakter yang tenang, percaya diri dan dapat diprediksi terutama pada saat mengalami tekanan; kedua, Mengakui kesalahan : Tidak menutupi kesalahan yang telah dibuat, tetapi mengaku kesalahan tersebut;
Ketiga, Kemampuan Interpersonal yang baik : mampu berkomunikasi dan meyakinkan orang lain tanpa menggunakan taktik yang negatif dan paksaan; keempat, Pengetahuan yang luas : mampu memahami berbagai bidang daripada hanya memahami bidang-bidang tertentu atau pengetahuan tertentu saja.
Ketika seseorang diberikan kepercayaan oleh pejabat yang di atasnya atau sekelompok orang kebanyakan yang terjadi adalah seiring dengan perubahan karakter pribadinya dibandingkan sebelumnya, seperti sedikit menutup diri, membentang jarak yang agak lebih lebar dengan orang-orang di sekitarnya, kearogansian mulai muncul, dan lain sebagainya.
Tetapi apabila dipahami secara baik ketika perannya sebagai pemimpin itu adalah sebuah kepercayaan maka unsur yang harus muncul dalam dirinya adalah menjadi “figur pelayan” performance yang ditampilkan serta atribut yang terpasang bukan simbol kebesaran pada tahta kerajaan jabatannya, tetapi harus dilihat sebagai atribut-atribut pelayanan sehingga yang muncul kepermukaan adalah figur kepemimpinan yang semakin rendah hati.
Namun, yang terjadi kebanyakan yang masih dijumpai di sekitarnya adalah dengan atribut-atribut yang dikenakan menjadi figur seorang kepala yang beraromakan kesombongan dan kearogansiannya, bahkan menjadi atribut kebesaran kredibiltasnya.
Berbicara tentang kepala adalah suatu bagian dari tubuh manusia yang letaknya cukup jauh dari bagian badan yang lain dan badan bukan bagian kepala tetapi kepala adalah bagian dari badan sehingga unsur-unsur yang ada di kepala harus berkorelasi dengan unsur yang ada pada bagian badan. Terutama berperannya unsur hati yang dikenal sebagai (God Spot) Daniel Goleman dalam buku yang ditulis oleh penulis (Robert Rero) yang berjudul “Cara Jitu Mengubah Mind Set Perpaduan IQ, EQ dan SQ sebagai Spritual Quotienet (SQ).
Banyak atribut yang dipasang untuk membedakan peran seseorang dalam memimpin sebuah organisasi, tetapi tidak banyak orang memahami sebutan atribut yang diberikan kepada jabatan tersebut . Atribut-atribut tersebut seperti Kepala Negara, Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, Kepala Dinas dan bukan Ketua Negara, ketua Kepolisian, ketua Kejaksaan, ketua Dinas. sama-sama pemimpin.
Tetapi yang menjadi pertanyaannya seberapa besar karakter kepemimpinan yang tergambar dalam jabatan itu. Kepala dan Ketua mempunyai frasa yang berbeda tetapi kebanyakan orang tidak mendalami makna akhirnya salah kaprah.
Frasa "Kepala" itu berarti: orang yang berada di hirearki kedudukan paling atas, struktural; punya bawahan; kekuasannya mengikat. Frasa "Ketua" berarti: Tidak menunjukkan hierarki, fungsional, punya anggota, dipilih para anggota, tidak mengikat, lebih bersifat koordinasi.
Banyak perbedaan antara Ketua dan Kepala. Tapi satu hal yang pasti yaitu, perintah kepala adalah mutlak, perintah Ketua tidak. Sebagai contoh, Kepala Kejaksaan Negeri, bukan Ketua Kejaksaan Negeri. Jikalau kata Kepala Kejari bilang “Stop!” Ya jaksa-jaksa yang berada dibawah harus patuh pada perintahnya.
Beda dengan Ketua Pengadilan, walau Ketua teriak-teriak "Nanti kamu harus mutus A!" tetapi Hakimnya tidak patuh ya tidak apa-apa. Karena Ketua Pengadilan tidak bisa memberi perintah mutlak.
Banyak orang menyadari tentang rendahnya kadar kepemimpinannya ketika ia jatuh! Setelah jatuh dari jenjang kekuasaan karena hilangnya kepercayaan baik dari seseorang ataupun oleh sekelompok orang yang memberi mandat tanggung jawab terhadap suatu tugas dan ketika itu ia menyadari, memang segala sesuatu penyesalan akan selalu datang terlambat dan penyesalan itu akan berkecamuk sepanjang hidup dengan pertanyaan yang selalu menghantui ” seandainya dulu.......”!!
Penulis masih memiliki untaian rekaman pikiran bawah sadar yang merekan peristiwa debat ke -3 Capres antara Bapak Prabowo Subianto dan Bapak Joko Widodo (Jokowi) yang dimoderatori oleh Prof. Hikmahanto Juwana pada Tahun 2014, yang salah satu tekad dari Bapak Joko Widodo kala itu dan sekarang terpilih menjadi Presiden RI periode yang kedua kalinya adalah tekad untuk membangun bidang ekonomi bangsa ini, sehingga untuk mencapai hal tersebut salah satu perhatian di antaranya adalah harus melakukan ”Refolusi mental manusia bangsa ini” yang artinya kalau penulis menterjemahkan secara bebas adalah bahwa bangsa ini supaya ekonominya mau bagus yang dilakukan pertama adalah memperbaiki mentalitas manusia yang ada di bangsa ini!
Manusia bangsa ini siapa mereka itu ? Mereka itu salah satunya adalah penulis dan Anda yang sedang membaca ulasan ini. Kalau tidak, seberapapun harta karun yang terbungkus rapi dalam perut bumi Indonesia akan terbongkar habis dan akan dibawa pergi, tanpa jejak oleh kelompok-kelomok atau manusia-manusia yang memiliki karakter dan perilaku yang berselimutkan rakus, loba dan tamak (greedy for money, sex and throne ).
Kata kunci yang kita bicarakan adalah bagaimana mengembalikan bangsa yang memiliki karakter yang jujur, berperilaku baik, mampu membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan, rela berkorban demi orang lain, selalu bersyukur dengan apa yang diperoleh, mau bertanggung jawab dan tanggung gugat bila membuat kesalahan, belajar maupun tidak belajar terhadap hukum tapi taat kepada hukum, tetapi jangan belajar hukum untuk mecari celah hukum, sehingga dapat seenaknya berbuat melanggar hukum.
Kesetiaan terhadap sebuah kepercayaan yang diberikan oleh para pihak adalah sebuah amanah dan harus dipertanggungjawabkan secara logis, emosional dan spiritualitas yang tinggi. Kesetiaan adalah gambaran kualitas karakter yang berharga. Sama seperti komitmen adalah kualitas karakter yang sangat dibutuhkan oleh semua orang. Tak pernah ada kesuksesan sejati yang dapat diraih, tanpa adanya karakter yang kuat. Dan dari semua karakter yang mejadi syarat keberhasilan, yang paling menentukan adalah: komitmen dan kesetiaan. Dari Komitmen dan kesetiaanlah, akan lahir ketekunan, keuletan, kepatuhan, kegigihan dan sikap disiplin.
Kalau penulis mengajak sejenak untuk melihat kisah samurai di masa lalu, mereka bahkan meletakan loyalitas atau kesetiaan di atas segalanya, termasuk di atas nyawa mereka sendiri. Karena bagi seorang samurai, gagal dalam soal kesetiaan, berarti hilangnya kehormatan. Dan seorang samurai yang hidup tanpa kehormatan, akan memilih lebih baik mati daripada hidup tanpa makna.
Hingga masa sekarang pun, peran penting kesetiaan bagi sebuah keberhasilan, baik dalam kehidupan pribadi dan lebih-lebih dalam hubungan bermasyarakat, terbukti nyata di depan kita. Banyak hubungan yang hancur akibat ketidaksetiaan. Keluarga, persahabatan, karier, hubungan bisnis, termasuk organisasi dapat terpecah-belah akibat ketidaksetiaan.
Begitu pula halnya dengan kesetiaan pada diri sendiri; betapa banyak kegagalan yang diakibatkan oleh ketidaksetiaan seseorang pada niatnya semula? Berapa sering kita tak setia pada tujuan atau visi yang sermula kita tetapkan, hanya karena keadaannya tak semanis dan semulus yang kita duga? Atau betapa banyak individu yang tergoda untuk menghentikan usahanya, hanya gara-gara menemui hambatan-hambatan sepele.? Poinnya adalah semua itu menunjukkan kurangnya rasa setia. Pada hal pendidikan dan pengetahuan hanya dapat menunjukkan sasarannya. Sementara keahlian dan ketrampilan hanya mengajarkan caranya, akan tetapi sikap mental kitalah yang menyukseskannya.
Kesetiaan, bagi penulis pribadi, termasuk ketetapan hati yang dilandasi dengan keteguhan pada tujuan, serta ketekunan dalam menghadapi tekanan. Kesetiaan yang seperti ini bukanlah sikap yang statis, dan juga bukan berarti sikap pasrah tanpa daya. Tapi merupakan kunci untuk meraih sukses.
Dalam kisah Mahabrata yang pernah saya simak ada lima tingkatan kesetiaan ( SATYA) diwakili oleh sisulung Pandawa, Yudhistira. Kelima tingkat kesetiaan itu adalah :
- Satya Wacana, yang artinya setia atau jujur dalam berkata-kata, tidak berdusta, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan.
- Satya Hredaya. Atau setia pada kata hati; berpendirian teguh serta tidak terombang- ambing dalam menegakan kebenaran.
- Satya Laksana Yaitu : setia dan jujur mengakui dan bertanggungjawab terhadap apapun yang pernah diperbuat.
- Satya Mitra , yaitu setia kerpada teman atau sahabat.
- Satya Samaya, yaitu setia kepada janji.
Nilai kesetiaan atau satya, adalah media penyucian pikiran. Orang yang sering tidak jujur sudah pasti kecerdasan akan diracuni oleh virus ketidakjujuran. Ketidakjujuran tersebut akan menyebabkan piirannya menjadi lemah dan mudah terombang-ambing oleh dorongan panca indra. Disamping itu, ia akan sulit memperoleh kepercayaan dari lingkungannya, Tuhanpun tidak akan merestuinya.
Kesetiaan diibuktikan oleh empat ujian ” Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma disucikan dengan Tapa brata, Budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual)” Kitab Manawa dan Dharmasastra .
Kesetiaan adalah cermin hati; ia senantiasa cenderung mengungkapkan hal-hal yang kita sembunyikan dalam hati. Dalam diri seseorang yang memiliki kesetiaan berarti memiliki kasih dan kasih itu bukan hanya pada dirinya sendiri tetapi kasih kepada sekelompok orang yang telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Hati tidak sekedar berbicara organ tubuh tetapi memiliki makna yang ganda dalam rana Spiritual Quotien (Kecerdasan spitritual) disanalah sebagai tempat yang disebut “GOD SPOT” (wilayah Tuhan bertahta) dalam diri setiap orang yang setia terhadap Sang Ilahi. Tetapi bagi setiap orang yang tidak setia kepada Sang Ilahi, maka disana bukan sebagai God Spot tetapi bisa saja menjadi Devil Spot (tempatnya iblis) karena keluar dan yang tertinggal dalam hati adalah semua keburukan dan jauh dari kesetiaan.
Berbicara Kesetiaan memiliki makna yang sangat dalam. Sejenak kita merefleksi Bagaimana Yesus menjelaskan pertanyaan dari seorang ahli Taurat yang ingin mencobai Yesus dalam Injil Matius 22 :36-39, Guru, Hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat ? Jawab Yesus kepadanya : “ Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”.
Sementara diwaktu yang berbeda seorang ahli Taurat bertanya hal yang sama kepada Yesus- Yesus tidak lagi hanya menyentuh hati, jiwa dan akal budi tetapi dalam Injil Markus 12 :30, dan Jawab Yesus lebih tegas lagi “ Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu”.
Sehingga ada 4 (empat) dimensi kesetiaan manusia pada Sang Pencipta dan empat dimensi dalam diri manusia itu mengilhami untuk mengasihi sesama seperti dirimu sendiri sebagaimana tertuang dalam Hukum yang kedua yang tertuang dalam ijnil Matius 22:39 dan Injil Markus 12:31 “ Kasihilah Sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Apapun peran yang kita mainkan dengan jabatan dan kepercayaan yang dilimpahkan kepada Anda, saya dan siapapun bukanlah sebuah atribut kesombongan dan keangkuhan, tetapi harus dilihat sebagai misi perutusan untuk menolong sesama manusia melalui talenta yang Tuhan anugerahkan.
Mahatma Gandhi mengingatkan “GREAT LEADERS CARE MORE ABOUT THOSE THEY LEAD THAN THEMSELVES…..”
(PEMIMPIN YANG BESAR LEBIH PEDULI KEPADA ORANG YANG DIPIMPINNYA DARIPADA DIRINYA SENDIRI )
Sekelumit kata dari Penulis semoga bermanfaat, teriring salam dan sukses buat pembaca yang budiman.