Penyerapan Dana Desa dari ‘Perspektif Ekonomi’ dan Konsekuensinya

Oleh : ABDUL KARIM *)

“BERBAGAI langkah konkret untuk mempercepat akses pemerataan pembangunan dari beberapa aspek yang ada di tingkat pemerintahan desa (kampung) di se-antero Nusantara ini. Pemerintah terus menggenjot alokasi anggaran yang bersumber dari APBN  dari tahun ke tahun dengan kucuran anggaran yang cukup fantastis”

Sekarang yang menjadi sorotan dan pertanyaannya, sampai sejauh manakah penyerapan alokasi dana desa. Jika, dilihat dari perspektif ekonomi, sosial dan segala konsekuensinya bagi bangsa ini secara umum maupun wilayah suatu desa khususnya di Tanah Air.  Berikut ulasannya :

Menurut Undang-Undang Desa, dana desa didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan unuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, dialokasikan secara berkeadilan berdasarkan: Alokasi dasar, dan alokasi yang dihitung memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa setiap kabupaten/kota.

Mekanisme penyaluran dana desa terbagi menjadi dua tahap, yakni tahap mekanisme transfer APBN dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dan tahap mekanisme transfer APBD dari RKUD ke kas desa.

Mekanisme pencairan dana dan penyaluran alokasi dana desa selengkapnya: Pertama, pencairan dana desa dilakukan bertahap dengan presentase tertentu yang telah ditetapkan.

Kedua, pencairan pertama diajukan oleh kepala desa kepada bupati melalui camat disertai dengan kelengkapan administrasi yang telah ditentukan.

Pencairan tahap kedua, dapat dilakuakan apabila penggunaan pada pencairan pertama sudah dipertanggungjawabkan baik secara administratif, secara teknis dan secara hukum.

Pencairan baik tahap pertama maupun kedua dilakukan dengan pemindah bukuan dana dari kas daerah ke rekening kas desa penyaluaran Alokasi Dana Desa dari kas desa kepada pelaku aktivitas (pemimpin pelaksana kegiatan).

Dirangkum dari berbagai sumber menyebut, dengan adanya dana desa menjadikan sumber pemasukkan di setiap desa akan meningkat. Meningkatnya pendapatan desa yang diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan sarana pelayanan masyarakat berupa pemenuhan kebutuhan dasar, penguatan kelembagaan desa dan kegiatan lainya yang dibutuhkan masyarakat desa yang diputuskan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa atau Musrenbang Desa.

Tapi, dengan adanya dana desa juga memunculkan permasalahan baru, yaitu tak sedikit masyarakat yang mengkhawatirkan tentang pengelolaan dana desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi perangkat desa yang dianggap masih rendah kualitas SDM-nya, dan belum kritisnya masyarakat atas pengelolaam anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa), sehingga bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat maksimal.

Prosedur Pencairan Dana Desa

Berikut ini adalah prosedur pencairan dana desa kepada pemimpin pelaksana kegiatan : Bendahara desa mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada Kepala Desa melalui Sekertaris desa yang dilampiri dengan Rencana Kebutuhan Desa (RKD) dan bukti-bukti pengeluaran dana sebelumnya, sekertaris desa melakukan verifikasi (penelitian) berkas kelengkapan SPP dan apabila telah dinyatakan lengkap, sekertaris desa menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditadatangani oleh Kepala Desa.

Berikutnya, bendahara desa setelah menerima SPM dan  surat rekomendasi camat mencairkan kepada pemegang kas desa pada bank yang ditunjuk, dana yang telah dicairkan oleh bendahara desa dibukukan kedalam Buku Kas Umum (BKU) untuk selanjutnya diserahkan kepada pimpinan kegiatan disertai dengan bukti penerimaan.

Tujuan Dana Desa

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tujuan disalurkannya dana desa adalah sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan adanya dana desa, desa dapat menciptakan pembangunan dan pemberdayaan desa menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Sementara tujuan Alokasi Dana Desa adalah: Mengatasi kemiskinan dan mengurangi kesenjagan, meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat desa, mendorong pembangunan infrastruktur pedesaan yang berlandaskan keadilan dan kearifan lokal.

Selain itu, meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial, budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan sosial, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa, mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat desa, dan meningkatakan pedapatan desa dan masyarakat desa melalui  Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Penggunaan alokasi dana desa yang diterima pemerintah desa 30% alokasi dana desa dipergunakan untuk operasional penyelenggaraan pemerintah desa dalam pembiayaan operasional desa, biaya operasional BPD, biaya operasional tim penyelenggara alokasi dana desa.

Sedangkan,  70%  dana desa  dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat  dalam  pembangunan sarana dan prasarana ekonomi desa, pemberdayaan di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama untuk mengentaskan kemiskinan dan bantuan keuangan kepala lembaga masyarakat desa, BUMDes, kelompok usaha sesuai potensi ekonomi masyarakat desa, serta bantuan keuangan kepada lembaga yang ada di desa seperti LPMD, RT, RW, PKK, Karang Taruna, Linmas.

Prioritas Dana Desa

Dana desa diprioritaskan untuk pembiayaan pelaksanaan program dan kegiatan berskala lokal desa dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup masyarakat serta penanggulangan kemiskinan.

Prioritas dana desa dialokasikan untuk membiayai bidang pemberdayaan masyarakat didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJMDes dan RKPDes setiap tahunnya, melalui dana desa diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan dasar meliputi:
Pengembangan pos kesehatan desa dan Polindes, pengelolaan dan pembinaan Posyandu, dan pembinaan dan pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Dana desa diprioritaskan untuk pembangunan sarana dan prasarana desa, yang di antaranya dapat meliputi: Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan desa.

Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan usaha tani, pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana embung desa, pembangunan energi baru dan terbarukan, pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan, pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala desa, pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier.

Dana desa diprioritaskan untuk pengembangan potensi ekonomi lokal guna meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala ekonomi masyarakat desa.

Berdasarkan prinsip pengelolaan dana desa bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan keuangan desa dalam APBD, seluruh kegiatan yang dibiayai dana desa direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat desa, semua kegiatan harus dipertanggungjawabkan secara admistratif, secara, teknis, dan secara hukum. Dana Desa dipergunakan secara terarah, ekonomis, efesien, efektif, berkeadilan, dan terkendali.

Penyerapan Dana Desa

Penyerapan dana desa pada prinsipnya, disesuaikan dengan situasi dan kondisi desa. Untuk alokasi anggaran yang dikucurkan pemerintah pada setiap desa besarannya pasti berbeda-beda. Semuanya tergantung dari jumlah populasi penduduk, luasan wilayah, letak geografis suatu desa. Makanya, tak heran jika angka rupiahnya antara desa yang satu dengan lainnya berbeda.

Dampak Positif

Dampak positif penyerapan anggaran melalui dana desa yang dibiayai melalui APBN maupun bersumber dari APBD, tak sedikit jumlah desa di Tanah Air berhasil membangun desanya. Bahkan, tadinya sebelum anggaran pemerintah tersebut dikucurkan, kondisi desa masih serba apa adanya dan belum mengalami suatu perubahan apa-apa.

Namun, di balik itu setelah pemerintah mengalokasikan anggaran dari beberapa tahun terakhir ini, sudah sekian banyak desa di Indonesia mengalami kemajuan yang begitu pesat dan seakan-akan desa tersebut disulap sedemikian rupa menjadi maju dan lebih bermartabat dari perspektif ekonomi, sosial yang berpihak kepada wong cilik (rakyat jelata).

Pembangunan fasilitas umum desa dengan manajemen SDM pendamping desa yang handal, disertai political will (niat baik) aparat perangkat desa yang mumpuni itu  mampu memberikan perubahan yang cukup siginifikan bagi desa itu sendiri.

Patut kita akui bersama bahwa di era Pemerintahan Joko Widodo hingga memasuki tahun terakhir pada periode kedua ini desa-desa di se-antero Nusantara ini dari tahun ke tahun mengalami perubahan pembangunan dengan grafik terus meningkat tajam.

Dengan adanya  public policy (kebijakan publik) dari sang Presiden (Joko Widodo) sebagai tokoh pembangunan Indonesia yang berpihak kepada masyarakat desa tak sedikit masyarakatnya terus menaruh harapan besar agar alokasi anggaran desa pada masa kepemimpinan Presiden RI selanjutnya akan terus menggulirkan dana desa secara berkesinambungan.

Konsekuensi/ Dampak Negatifnya

Akibat, dari keterbatasan pengetahuan tentang pengelolaan manajerial dana desa atau bisa dikatakan aparat desa yang selama ini tak pernah melihat onggokan anggaran yang sangat fantastis membuat silau di depan matanya. Sehingga, akan  terjadinya implikasi (konsekuensi) dampak negatif yang menjadi preseden buruk bagi perangkat desa itu sendiri.

Tak sedikit aparat desa di negeri ini tersandung kasus korupsi. Akibat, dari penyalagunaan wewenang dan kekuasaan harus berurusan dengan Aparat Penegak Hukum.

DIRANGKUM  dari Indonesia Corruption Watch (ICH) membeberkan sejumlah masalah. Desa menjadi sektor dengan kasus korupsi terbanyak sepanjang 2022, menurut data  organisasi independen yang fokus mengawal dan melawan isu korupsi.

Sepanjang tahun lalu saja terjadi 155 kasus korupsi di desa. Kerugian negaranya mencapai lebih dari Rp381 miliar. Praktik suap-menyuap dan pungli saja mencapai Rp2,7 miliar. Desa mengalahkan sektor pendidikan, utilitas, pemerintahan, dan sumber daya alam, demikian berdasarkan kategorisasi sektor ICW.

ICW mencatat, sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat. Pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 17 kasus dengan 22 tersangka. Enam tahun kemudian, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka.

Terdapat lima titik celah yang biasa dimanfaatkan aparat desa untuk mengorupsi dana desa, yaitu (1) proses perencanaan, (2) proses perencanaan pelaksanaan (nepotisme dan tidak transparan), (3) proses pengadaan barang dan jasa dalam konteks penyaluran dan pengelolaan dana desa (mark up, fiktif, dan tidak transparan), (4) proses pertanggungjawaban (fiktif), dan proses monitoring dan evaluasi (formalitas, administratif, dan telat deteksi korupsi). 

Modus Korupsi Perangkat Desa

Rizki Zakaria dalam INTEGRITAS, jurnal antikorupsi KPK, menuturkan, korupsi yang terjadi di pemerintahan desa tak hanya karena alokasi dana desa yang besar tiap tahun, tapi juga “tak diiringinya prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam tata kelola keuangan desa,” tulisnya.

Faktor lain, kata dia, desa-desa tersebut juga luput dari perhatian media massa berskala nasional, afiliasi kepala desa dengan calon kepala daerah tertentu, serta minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat.

Berikut beberapa modus korupsi yang dilakukan oleh perangkat desa, antara lain:

Penggelembungan dana (markup)

Modus satu ini biasanya terjadi pada pengadaan barang dan jasa. ICW menyebutkan, sejak 2015-2017 terdapat 14 kasus korupsi dana desa melalui modus ini. Salah satu kasus yang telah berkekuatan hukum tetap dialami oleh Abdul Rasid Takamokan, Kepala Desa Negeri Administratif Sumbawa, Kecamatan Klimury, Kabupaten Seram Bagian Timur pada 2019.

Ia terbukti menggelembungkan alokasi dana kegiatan sejak 2015- 2017 senilai lebih dari Rp 433 juta. Dari beberapa kegiatan markup tersebut, salah satunya, yaitu ia menaikkan harga pembelian 15 motor desa dari Rp 23,5 juta menjadi Rp29 juta dalam Laporan Pertanggungjawaban Dana Desa 2016.

Anggaran untuk Urusan Pribadi

Selama periode 2015-2017 terdapat 51 kasus penyalahgunaan anggaran. Contoh kasus pada 2018 di Desa Taraweang, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Sang kepala desa mencairkan dana pengadaan lampu jalan (Rp140 juta), bantuan masjid (Rp20 juta), dan pengadaan papan monografi desa (Rp 1,45 juta). Namun, uang itu justru untuk membayar utang pribadi sang kades sebesar lebih Rp161 juta.

Contoh lain dilakukan oleh Yusran Fauzi, Kepala Desa Hambuku Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sejak Januari- Desember 2018, ia merugikan negara lebih dari Rp609 juta yang dipakai untuk kepentingan pribadi. Dalam audit BPKP Kalsel juga disebutkan, laporan pertanggungjawaban kegiatan tidak sesuai dengan realisasinya. Ia pun diganjar 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta.

Proyek fiktif

Modus satu ini cukup populer, tidak hanya terjadi di desa, tapi di banyak sektor masih sering ditemui. Oknum aparat pemerintah atau perangkat desa membuat kegiatan, tapi sebenarnya tidak pernah ada. Sepanjang 2015-2017, ICW mendata sedikitnya ada 15 kasus proyek fiktif oleh pemerintah desa. Salah satu kasus yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu Kepala Desa Kaluku, Kecamatan Batang, Kabupaten Jeneponto, Syamsu Japarang.

Ia terbukti, salah satunya, membuat kegiatan fiktif untuk material pengerjaan jalan setapak (Rp 2,97 juta), perjalanan dinas (Rp 1,5 juta), belanja ATK (Rp 4,27 juta), pembelian seragam BPD (Rp2,5 juta), dan lain-lain. Negara rugi Rp 48,98 juta.

Tidak Sesuai Volume Kegiatan

Salah satu contoh kasus ini dilakukan oleh Andiani, Kepala Desa Piyeung Lhang, Aceh terkait dengan proyek pembangunan rumah sewa di desa tersebut. Proyek senilai Rp368 juta hanya selesai 66,39 persen, padahal dana desa telah ditarik penuh. 

Andiani juga mengorupsi dana proyek jalan desa, dari total anggaran Rp105juta ditemukan adanya kekurangan volume sebesar Rp19,9 juta. Pada 12 April 2022, Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis sang kades selama tiga tahun penjara dan denda Rp50 juta.

Laporan Palsu

Kepala desa wajib menyerahkan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati atau wali kota tiap akhir tahun dan masa jabatan. Selain itu, kades juga harus membuat laporan tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa serta menyebarkan informasi pemerintahan desa secara tertulis kepada masyarakat setiap akhir tahun anggaran.

Namun, laporan tersebut sering dimanipulasi, di antaranya melalui praktik pengurangan jumlah barang dari yang tercantum, mengubah kualitas barang menjadi lebih rendah, atau membuat pembelanjaan fiktif.

Jadi, laporan yang dibuat tidak sesuai dengan kondisi pelaksanaan kegiatan dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). ICW menemukan selama 2015- 2017 terdapat 17 kasus laporan fiktif.

Contoh kasus laporan fiktif, misalnya, terjadi di Desa Larpak, Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan, pada tahun anggaran 2016. Kasus ini menjerat Musdari (Penjabat Desa Larpak) dan Moh Kholil (pelaksana proyek). Mereka membuat laporan dana desa 2016 seakan-akan proyek sudah selesai dilaksanakan. Kerugian negara Rp 316 juta.

Kasus lain, yaitu menjerat Sahirpan, Kepala Desa Terong Tawah, NTB. Ia divonis empat tahun penjara dan denda Rp100 juta. Selain itu, wajib membayar Rp287,98 juta dalam kurun waktu sebulan, jika gagal membayar maka harta bendanya akan disita untuk ganti rugi. 

Juga, kasus Subardan, Kepala Desa di Pewodadi, Lampung yang divonis hukuman dua tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider dua tahun, serta membayar uang pengganti lebih dari Rp 200 juta. Jika gagal bayar, hartanya akan disita dan dilelang untuk mengganti uang tersebut. Jika hasil lelang tidak cukup, maka akan dipidana lagi selama sembilan bulan.

Penggelapan

Salah satu kasus korupsi dana desa dengan modus penggelapan dilakukan oleh Kepala Desa Matang Ulim, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara tahun 2017. Ia menggelapkan dana desa sebesar lebih dari Rp 325 juta. Modusnya, ia memalsu tanda tangan bendahara desa dalam proses pencairannya. Uang dipakai membayar utang dan liburan ke Malaysia. ICW menyebutkan, selama 2015- 2017 terdapat 32 kasus korupsi dana desa dengan modus penggelapan.

Desa Antikorupsi cegah korupsi

Dalam Buku Panduan Desa Antikorupsi (2018) disebutkan beberapa faktor maraknya korupsi pada sektor desa: Minimnya pemahaman masyarakat tentang pembangunan desa, termasuk mengenai anggaran desa serta hak dan kewajiban mereka, belum optimalnya fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengawasi penggunaan anggaran, keterbatasan akses informasi yang dimiliki oleh masyarakat desa terkait pengelolaan dana desa, layanan publik, dan sebagainya, keterbatasan atau ketidaksiapan kepala desa dan pengelola lainnya ketika harus mengelola dana dalam jumlah besar.

Untuk mencegah korupsi di sektor desa terjadi kembali, KPK pun membuat program Desa Antikorupsi dengan tujuan: Menyebarluaskan pentingnya membangun integritas dan nilai-nilai antikorupsi kepada pemerintah dan masyarakat desa, memperbaiki tata kelola pemerintahan desa yang berintegritas sesuai indikator dalam Buku Panduan Desa Antikorupsi, memberikan pemahaman dan peningkatan peran serta masyarakat desa dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi.

Program Desa Antikorupsi, diharapkan mampu menjadi pendorong bagi seluruh anggota pemerintahan desa serta masyarakat di desa untuk menempatkan integritas sebagai nilai utama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, seluruh elemen yang ada dalam desa dapat terhindar dari perilaku koruptif maupun tindak pidana korupsi.

Dari beberapa uraian tersebut di atas, ‘Penulis’ dapat menyimpulkan bahwa mental korupsi aparatur di Indonesia masih cukup tinggi. Dari masa ke masa masih saja terjadi adanya aparat desa yang diduga tersandung kasus korupsi.  Dan, perkara yang melibatkan kepala desa maupun perangkatnya terjerat dalam kasus mafia korupsi yang hampir tak bisa terelakkan (terbendung) lagi.

Bagi sebagian dari mereka (dugaan pelaku korupsi) sudah tak peduli lagi adanya merasa malu mengenakan rompi orange, ketika berurusan dengan Aparat Penegak Hukum, ditayangkan secara langsung melalui sejumlah media massa, baik cetak maupun elektronik.

Bahkan pula, melalui berbagai tahapan proses hukum setelah keputusan melalui sidang Hakim Pengadilan Tipikor dengan vonis dinyatakan ‘incrah’ (berkekuatan hukum tetap) kepada sang terdakwah korupsi digiring masuk menginap, makan dan tidur secara gratis, keamanan terjamin, saat berada di balik jeruji besi alias hotel prodeo sekian tahun yang didakwakan hukuman penjara yang harus dijalani sepertinya menjadi hal yang lumrah saja.

Kapankah masalah penyakit masyarakat seperti ini akan berakhir? Jawabannya, masih serba teka-teki. Sebab, semuanya tergantung dari kesiapan dan mentalitas aparat. Jika, ingin melanggar aturan tentu pasti ada konsekuensi hukum yang patut dijalaninya di balik itu, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula sebaliknya.

Jika, perangkat desanya bekerja proporsional, transparans, akuntabel, dan dijauhi dari bermental korupsi, serta berjiwa besar ingin memajukan wilayah desa yang dinakhodainya itu akan mendapat acungan jempol dari warganya.

Akhir dari tulisan ini, Penulis melayangkan apresiasi dan terima kasih tak terhingga kepada pembaca setia di rubrik (voicepapua.com). Di mana, melalui sajian artikel ini, semoga bermanfaat dan dijadikan bahan pembelajaran bagi segenap warga di wilayah NKRI yang kita cintai. (****)