Pemilu dan Problematikanya
Oleh : ABDUL KARIM *)
PESTA demokrasi ajang lima tahunan yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Negara. Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pusat maupun daerah untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI, anggota DPR-RI, anggota DPD- RI, pemilihan pasangan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Bahkan, belum lama ini, para kandidat bakal calon sudah mulai bermunculan dengan berbagai perannya melalui atribut. Entah itu lewat saluran media massa dan beberapanya lagi langsung memajang foto bakal calon kandidat terpajang pada beberapa baliho di berbagai penjuru menghiasi di sisi kiri-kanan jalan utama kota.
“Bukan hal baru.” Dari pengamatan penulis, khusus di wilayah Kota Sorong dan Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya mulai bermunculan para pemain lama, juga ada wajah baru terpapampang melalui selembar baliho, baik berukuran kecil, sedang hingga berukuran besar untuk memperkenalkan diri mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriyah (Minal Aidin Wal Faizin) mohon maaf lahir dan batin kepada umat Muslim yang merayakannya.
Ada juga melayangkan ucapan selamat yang sama melalui berbagai media online, RRI dan televisi lokal. Merupakan salah satu cara efektif dan efisien yang disiasati sebagai pencitraan diri para bakal calon dan peserta calon agar kelak, masyarakat pemilih atau masyarakat akar rumput (grassgrouth) bisa mengenalnya. Meski belum berkenalan secara langsung atau face to face di antara kedua pihak.
Patut diakui, Negara telah menjamin hak memilih dan dipilih dalam pesta rakyat setiap lima tahun sekali ini. Seperti yang disebutkan pada Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan.
Pada momen perhelatan akbar pesta rakyat ini tak lazim lagi,’bukan saja para kandidat bakal calon’ bersama team working (tim kerja) bermanuver ke berbagai sasaran konstituen.
Bagaimana dengan warga masyarakat dari akar rumput yang sering nongkrong di warung kopi misalnya. Mereka juga tak mau ketinggalan ikut membahas figur-figur mana yang tepat akan menjadi jagoannya maju sebagai rival politik untuk digolkan pada Pemilu 2024 mendatang.
Tak ayal, para pemilih akar rumput menjagokan kandidatnya, karena dia menilai keseharian dari figur tersebut, yang lagi duduk di salah satu lembaga terhormat saat ini, cukup merakyat. Tiba di saat masa resesnya turun langsung mendengarkan berbagai keluhan dan masukkan untuk dibiayai, terutama pembangunan fasilitas umum public di lingkungan dimana mereka bermukim.
Namun, terkadang juga basis pemilih dimaksud meski terus dirawat, dipelihara dan sering di-sering dikunjungi agar pada periode lima tahun berikutnya untuk kembali dipilih oleh sejumlah basisnya tersebut.
Berbagai pengalaman menunjukkan tak selamanya basis massa pemilih bertahan di salah satu kandidat sebelumnya, karena sudah terjadi adanya hukum sebab akibat atau-pun dengan berbagai alasan lainnya yang cukup manusiawi.
Sehingga, apa yang diharapkan kandidat tersebut, lambat laun basis massa yang ada sekian banyak itu nyaris bisa bergerak secara perlahan ke calon kandidat lain dianggapnya lebih hebat dan apalagi kandidat tersebut orang berduit dan ringan tangan memberikan sejumlah uang, tanpa ada hitung-hitungan.
Kosekuensi Berpolitik
Bagian rujukan utama yang tak kalah pentingnya dalam bertarung di panggung politik, pasti semuanya ada konsekuensi yang harus diterima. Kandidat bakal calon atau peserta calon pada partai politik tertentu harus sudah siap kalah dan juga siap menang.
Apakah hal seperti ini diterima begitu saja secara logika oleh kandidat tersebut? Tentu jawabannya, bisa iya dan bisa pula sebagian kandidat lain diresponnya tidak.
Apalagi duitnya sudah lumayan banyak keluar untuk membiayai berbagai keperluan dan bukan rahasia umum lagi. Khusus bagi yang tidak memperoleh sasaran tembak untuk mendapatkan kursi yang empuk banyak juga dijumpai ada yang frustrasi hingga ke ambang stres.
Bahkan, pula sering terjadi kandidat yang frustrasi tadi, berjalan di fasilitas umum di keramaian kota, tanpa dibalut sehelai benang pada tubuhnya.
Frustrasi dan stres berat sering terjadi di berbagai daerah diakibatkan biaya Pileg (pemilihan legislatif) contohnya, aset-aset miliknya diagunkan ke bank untuk mendapatkan fasilitas kredit dengan nominal angka yang sangat fantastis. Dengan harapan, setelah duduk manis di kursi empuk akan bisa dikembalikan atau diangsur melalui hasil gajinya.
Tapi sayang, niatnya itu tak kesampaian yang tadi orang waras akan berubah seketika masuk ke habitat tersesat atau di alam kegelapan. Tadi awalnya dari frustrasi dengan beban mentalnya semakin berat dilaluinya ke fase stres, karena tak kunjung membaik suasana batinnya semakin parah akan memasuki ke tahap depresi.
Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam memasuki panggung politik bukan saja figur/profil calon yang ditonjolkan semata. Tapi kantong duitnya juga harus tebal, dan itu-pun belum tentu menjamin 100 persen bahwa yang bersangkutan akan meraih kemenangan.
Artinya, berpolitik harus punya figur yang tepat, dan segala sesuatunya secara otomatis harus pakai duit. Semuanya masih ibaratnya seperti orang judi. Ada yang meraih keuntungan sesaat dan ada pula menerima buntungnya.
Memang ikut masuk bursa berpolitik itu sangat kejam!!! Jika, ingin mandi harus siap basah yang tak tanggung-tanggung di sekujur tubuh. Jika, ada yang merasa kuatir dengan penuh keragu-raguan, penulis sarankan saja mending jangan dech.